Sponsored

Jangan Panik, Demam Bukan Penyakit!

Oleh: dr. Purnamawati S.Pujiarto, Sp. AK, MMPed

Banyak orang tua panik alang-kepalang, ketika menyadari anaknya menderita demam. Mereka menganggap demam sebagai penyakit yang harus segera dibasmi. Padahal, demam hanyalah gejala, bukan penyakit.

Ketika anak mengalami peningkatan suhu tubuh, hal pertama yang harus dilakukan bukan mengkhawatirkan demamnya, melainkan mencari penyebabnya.

Secara garis besar, demam bisa diakibatkan oleh infeksi, bisa juga bukan infeksi. Pada bayi dan anak penyebab utama demam umumnya infeksi, terutama infeksi virus. Ketika terserang infeksi, tubuh berusaha membasmi infeksi itu dengan mengerahkan sistem imun.

Sel darah putih dan semua perangkatnya bekerja keras menghancurkan penyebab infeksi, membentuk antibodi untuk menetralkan musuh, serta membentuk demam. Kehadiran sang demam akan membantu membunuh virus, karena virus tidak tahan suhu tinggi. Sebaliknya, virus akan tumbuh subur di suhu rendah.

Dunia kedokteran membuktikan, pada umumnya demam bukan kondisi yang membahayakan serta mengancam keselamatan jiwa. Beberapa kepustakaan kedokteran menulis, demam merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh untuk memerangi infeksi. Ia ibarat alarm yang memberitahukan bahwa sesuatu tengah terjadi di dalam tubuh.

Tubuh kita dilengkapi berbagai sistem pengaturan canggih, termasuk pengaturan suhu tubuh. Manusia memiliki pusat pengaturan suhu tubuh (termostat), terletak di bagian otak yang disebut dengan hipotalamus. Pusat pengaturan suhu tubuh itu mematok suhu badan kita di satu titik yang disebut set point.

Hipotalamus bertugas mempertahankan suhu tubuh agar senantiasa konstan, berkisar pada suhu 37°C. Itu sebabnya, di mana pun manusia berada, di kutub atau di padang pasir, suhu tubuh harus selalu diupayakan stabil, sehingga manusia disebut sebagai makhluk homotermal.

Termostat hipotalamus bekerja berdasarkan asupan dari ujung saraf dan suhu darah yang beredar di tubuh. Di udara dingin hipotalamus akan membuat program agar tubuh tidak kedinginan, dengan menaikkan set point alias menaikkan suhu tubuh. Caranya dengan mengerutkan pembuluh darah, sehingga badan menggigil dan tampak pucat.

Sedangkan di udara panas, hipotalamus tentu saja harus menurunkan suhu tubuh untuk mencegah heatstroke. Caranya dengan mengeluarkan panas melalui penguapan. Pembuluh darah melebar, pernapasan pun menjadi lebih cepat. Makanya, pada saat kepanasan, selain berkeringat, kulit kita juga tampak kemerahan (flushing).

Salah kaprah lainnya, banyak orangtua yang menentukan anaknya demam atau tidak hanya berdasarkan perabaan tangan. Padahal, anak bisa saja teraba hangat kalau ia habis bermain di tempat panas; di lain pihak, anak teraba dingin (seperti tidak demam) ketika dia mengalami renjatan atau shock, semisal dengue shock syndrome.

Ketika demam, otak mematok suhu di atas set point normal, yaitu di atas 38°C. Dengan menggunakan termometer, anak dinyatakan demam jika suhu tubuhnya 38°C (diukur di rektum atau ujung usus besar, termometer dimasukkan melalui anus), 37,5°C apabila diukur di mulut, serta 37,2°C jika diukur di ketiak.

Akibat tuntutan peningkatan set point, tubuh akan memproduksi panas. Proses pembentukan panas itu terdiri dari tiga fase. Pertama, menggigil (berlangsung sampai suhu tubuh mencapai puncaknya), lalu suhu tubuh tetap tinggi untuk beberapa jam (fase kedua), dan suhu tubuh turun jadi normal atau mendekati normal (fase ketiga).

Satu lagi, makin tingginya suhu saat demam tidak menandakan penyakit yang lebih parah. Infeksi virus ringan, seperti selesma misalnya, bisa menyebabkan demam yang cukup tinggi. Di lain pihak, bayi baru lahir dengan infeksi berat sekali pun bisa saja suhu tubuhnya tidak meningkat atau hanya sedikit peningkatannya.

Jadi, jangan gampang dibuat panik oleh demam.

sumber: KOMPAS